FEATURE: Di Sudut Kota Banjarmasin, Terselip Toko Buku Langka (Tentang Toko Boekoe Jadoel Dan Segalanya)
Foto Johan (kedua sebelah kiri) bersama teman-temannya waktu masih PNS di Tabalong.
Johansyah (50 tahun). Potongan rambut pendek dengan kedua sisi
berbentuk mirip setengah bintang. Di antara mulut, tumbuh rambut yang
tidak lebat. Ia mengenakan kemeja garis-garis dan sekadar sarung motif
kotak-kotak. Sebuah kacamata bertemali menggantung di dada. Setiap
memeriksa buku, kacamata itu dikenakannya. Kelak saya ketahui, ia
seorang yang suka bertindak praktis.
Musa Bastara | BANJARMUDA.COM
Rabu,
6 Juli 2022, kali ketiga saya mengunjungi toko buku bekas tersebut.
Pertama, ia selalu mencoba mengelak dari pembicaraan apapun selain soal
urusan transaksi buku. Kala kedua, ia mengaku ada kesibukan. Lalu agar
memperingkas waktu, saya tegaskan bahwa esok kami harus ketemu dan
berbicara tentang toko buku ini, dan ia sepakat. Saya meminta nomor
telepon.
"Tapi saya nggak punya telepon," katanya. Saya bilang, tak apa, sambil terus-menerus mengatakan, esok saya akan datang lagi.
Tak
disangka, malah saya sendiri teledor dan baru datang selang dua hari
setelah pertemuan terakhir. Boekoe Jadoel nama toko buku tersebut kata
dia didapat dari saran salah seorang pengunjung.
Sebelumnya tak ada nama; apakah setiap hal perlu dinamai? Dalam
kasus toko buku dan toko-toko lain, sepertinya memang penting. Paling
tidak, bila Anda bertanya tentang toko buku itu, saya tak sekadar
menyebut di mana lokasi dan kapan toko itu buka.
Berada di bahu Jalan Laksana Intan, Kelayan Selatan, Banjarmasin
Selatan, toko buku itu tak pernah sepi saat hari masih cerlang, dalam
artian; suara motor dipacu, debu jalanan naik dan turun, langkah
manusia, serta segala macam kesibukan menghidupkan jalan di luar toko
tersebut.
Toko buku itu adalah rumah model gajah manyusu (rumah
khas Banjar) dengan pintu lipat dari ulin. Di depan toko terbentang
spanduk bertuliskan nama toko dibersamai sebuah foto si paus sastra,
Hans Bague Jassin dalam latar hijau tua.
Saya
turun dari motor dan segera masuk, di mana di ambang antara dua pintu
yang terbuka, beberapa lembar majalah dan buku menggantung serupa tirai
hiasan. Di dalam, buku dan komik dan majalah tersusun bertumpuk-tumpuk;
di atas meja, kardus, para-para, dinding maupun tergeletak begitu saja
di lantai. Jumlahnya mungkin ribuan.
Semacam
ada perasaan tertelan ketakjuban dan keganjilan sekaligus, meski ini
sudah kali ketiga. Di sudut, ada sebidang papan tulis kapur 120 x 240
cm. Saya masih ingat, saat pertama dan kedua saya berkunjung ke sana, di
sebelah papan tulis kapur itu ada sebuah lukisan besar sketsa wajah
entah siapa, dengan "TERLALU BANYAK YANG DI INGIN OLEH HATI" tertulis
tepat di atasnya, sekarang sudah tak ada.
Selebihnya, beberapa sepeda terparkir tak karuan, sederet ban
bekas, bendera merah putih berkibar di dinding, lemari kaca, dan lemari
pendingin yang mungkin tak lagi berfungsi, serta benda-benda lain yang
tak habis sebentar jika disebut satu persatu. Johan segera mengenali
saya, dan menyambut dari dalam rumah.
Dia mengajak saya duduk di kursi dekat pintu masuk rumah. "Sejak kapan berbisnis toko buku ini?" tanya saya.
"Sekitar tahun 2012, rasanya," ucapnya seraya menimbang-nimbang ingatan.
Saat
toko buku itu baru dibuka, jumlah buku tak semelimpah sekarang. Selain
buku, dulu, ia juga berjualan minuman berdus-dus. Salah satu buktinya
ialah lemari pendingin yang tak lagi berfungsi di antara tumpukan buku.
Bahkan saat itu usaha buku adalah sambilan. Sekarang, malah usaha toko
buku yang masih bertahan.."Kenapa jadi berhenti jual minuman-minuman
itu?"
"Karena kadang orang yang nungkar
suka ngutang," katanya, terkekeh lagi. "Yang ngutang orang dekat juga,
jadi susah nagih. Lebih baik berhenti saja." Hmm, alasan praktis.
"Buku ada orang ngutang?"
"Kalau buku nggak ada. Paling kurang sedikit, biasa saya kasih saja. Di
sini toh menurut saya murah-murah." Sepakat. Saya ingat pernah membeli
buku Cuk karya Vincent Mathieu dengan harga Rp35 ribu di toko ini.
"Sebelumnya saya buka usaha bengkel sepeda," katanya. "Lebih lima
tahun." Pantas, kata saya dalam hati, selain penuh dengan buku, tempat
ini juga penuh dengan ucus, ban sepeda, dan sepeda-sepeda.
"Bengkel
sepeda sebenarnya rame, tapi membikin badan kotor. Jadi saya berhenti,"
ucapnya, terkekeh. Saya tak bisa setuju alasannya sesederhana itu, tapi
saya cuma manggut-manggut seperti kerasukan roh ayam. Sepeda-sepeda itu
kini ia sewakan. Rp50 ribu sehari. "Setelah bengkel itu kemudian baru
jualan buku?" kata saya, sekadar menegaskan.
Saya
maklum itu tak perlu ada jawaban, dan jika pun ada, cuma pembenaran
lewat anggukan belaka. Hening sebentar. Saya membuka tutup botol air
mineral dan minum seteguk, saat tiba-tiba ia berkata, "Sebelumnya saya
berdagang nasi goreng."
Tersedak saya.
"Beneran. Sebelumnya saya berdagang nasi goreng," tegasnya lagi, seraya terkekeh melihat saya kaget. "Tapi sebelum serame ini."
"Hmm, mungkin di bawah tahun 2000-an."
Intinya,
kedua profesi itu tak cocok untuknya. Saya mencoba menerka-nerka, tapi
ini cuma asumsi belaka, bahwa Johan adalah tipe orang yang senang
menghindari kerepotan. Memang, toko buku bukannya tak merepotkan, tapi
setidaknya dekat dengan apa yang ia suka: membaca.
Ia suka membaca sedari sekolah dasar. Dulu ia suka membeli novel
anak-anak seperti Lima Sekawan. Gang Penatu--di mana pada masa itu
tempat para pedagang buku--adalah tempat favoritnya. Sekarang kawasan
itu jadi semacam tempat percetakan, dan jika malam, seakan tampak
angker.
Selain membaca, ia juga suka
menggambar. Tampak di ruangan itu beberapa lukisan terpampang di
dinding. Dominan lukisan wajah. Saya menebak salah satunya. Lantas tanpa
berpikir lama, segera saya sebut, "Itu pasti Albert Einsten."
Ia
tersenyum, kemudian menantang saya lagi buat menebak lukisan di dekat
pintu masuk. Saya menatap lukisan itu, berusaha mengais-ngais isi otak,
kemudian dengan nada yang nyaris sama dengan yang pertama saya berseru,
"Jelas, ini Chairil Anwar."
Lagi-lagi ia membenarkan. Saya cepat-cepat berhenti, karena saya percaya tebakan ketiga pasti sudah kehabisan keberuntungan.
Sebagaimana
membaca, ia suka menggambar sedari sekolah dasar. Otodidak. Ia biasa
melukis pada sampul-sampul buku yang tak lagi terpakai. Demikian untuk
menghemat uang, karena menurutnya harga kanvas lumayan mahal. Ia melukis
di kala waktu senggang.
"Tapi ini sudah bertahun-tahun tidak melukis, rasanya." Saya baru
ngeh kata rasanya sudah ia ucapkan belasan kali, bahkan semacam kata
kesukaan di sepanjang perbincangan kami. Saya tak tahu jelas, apakah ia
selalu ragu-ragu begini.
***
"Bapa suka H.B. Jassin?" tanya saya. Sebuah pertanyaan yang tak bisa saya tahan-tahan.
Hening sejenak. Ia berpikir sebentar kemudian menjawab, "H.B. Jassin itu menerjemahkan Al-Quran..."
"Oh," seru saya spontan.
"Kamu nggak tahu?"
"Saya baru tahu."
"Duh, kamu ini kurang bacaan." Tiba-tiba tawanya meledak, saya juga. "Payah banar. Hahaha."
Setelah
tawa kami berdua reda, ia menceritakan bahwa H.B. Jassin menerjemahkan
Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia dengan puitis. Diterbitkan oleh
penerbit Djambatan pada tahun 1977 dan diberi nama Al Quranul-Karim
Bacaan Mulia. Dulu ia punya Al-Quran tersebut sebelum dijual. "Itu
paling mahal yang pernah saya jual. Kurang lebih 400 ribu rupiah."
Paling laris adalah seri Kho Ping Hoo, kata dia selalu ludes.
Lainnya, biasa dijual kisaran Rp5 ribu hingga Rp 25 ribu per buku.
Keberadaan cerita silat Nagasasra Sabuk Inten atau Panji Tengkorak,
misalnya, sudah sangat langka, maka tak ayal ia mengasih harga relatif
lebih tinggi. "Tapi serunya ada tawar menawar itu."
Adapun, digitalisasi buku yang masif adalah musuh bagi usaha sepertinya, yang mana berharap sepenuhnya kepada offline.
Ia tak punya telepon, memang, tapi informasi menyebar mulut ke mulut
sehingga orang-orang jadi mengenal toko bukunya tanpa ia sendiri
usahakan. Disinggung soal pendapatan, ia bilang, "Jika saya masih jualan
nasi goreng, mungkin lebih untung nasi goreng," katanya, lagi-lagi
diselingi tawa.
"Tapi, minat baca sebelum ada hape pun sudah rendah, ditambah ada hape." Saya menepuk jidat. Benar juga.
Di toko itu saya bertemu Rusydi (21). Ia mencari buku untuk sekadar bahan bacaan. Ia menunjukkan kepada saya, Angin-angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami dan Salah Asuhan
salah duanya. Ia tahu toko Boekoe Jadoel sudah lama dari temannya, tapi
baru belakangan ini mengunjungi. Ia mengaku buku di toko ini memang
murah-murah.
Pria lulusan jurusan Ilmu
Perpustakaan tersebut sekarang bekerja di Perpustakaan Madrasah
Ibtidayah 2 Pekapuran. Dari sudut pandang perpustakaan dalam percaturan
dunia buku, keberadaan buku digital terhadap buku cetak kata dia tentu
menjadi tantangan. "Kita tahu, kian kemari perpustakaan pun telah
berinovasi mengikuti perkembangan zaman," katanya.
Selepas obrolan singkat itu, saya melihat Johan menyalakan radio.
Ia mencari-cari sampai menemukan saluran yang memutar sebuah lagu. Ia
terhenyak di kursi bersandaran. Pria itu dan toko bukunya, sebagaimana
Roversi dan toko bukunya dalam esai Stefano Benni berjudul La Palmaverde tertulis, tempat budaya sekaligus keperajinan dan kerja keras.
Dan
jika saya adalah Stefano Benni, maka saya akan menulis kalimat yang
sama persis saat itu: Aku lebih mencintai aroma buku-buku ruang-ruang
gelap itu daripada toko-toko buku modern yang penuh layar dan cahaya. (musa/sip)
Post a Comment