BUNCU KOTA: Tiga Tahun, Kampung Buku Banjarmasin Dari Dekat Sekali
KAMPUNG Buku Banjarmasin,
tiga tahun lalu, pemuda berkacamata itu menuntun pikirannya dengan
menghadiri kelas filsafat. Belakangan ia doyan filsafat karena teori
"ketakterhinggaan" yang iseng ia ciptakan.
Pada
malam 26 Agustus 2019 adalah pertama kalinya ia melangkah ke sana. Ia
mengajak serta dua temannya, dan keduanya, sebelum tiba di sana, telah
bertanya-tanya; apakah kampung buku semacam perumahan yang di mana-mana ada buku?
Ia
maklum. Selepas menuntaskan sekolah, tak ada seorang dari mereka lanjut
ke jenjang perguruan tinggi--terlebih saat itu, ia dan teman-temannya
cuma segerombolan pemuda yang tak tahu bagaimana dunia bergerak di luar
sana; tak tahu bahwa di tengah-tengah kota, atau di sudut kota entah
mana, ada tempat bernama Kampung Buku dan tempat-tempat lain semacam
itu.
Obrolan mereka adalah obrolan tentang
buku, memang, tapi tak pernah merambat lebih dalam, atau lebih jauh.
Kota ini dipenuhi sungai, jalan, taman, dan kafe, tapi mereka lebih
sering berada di cangkang. Sebuah lingkup dunia mereka sendiri.
Citra
semula tempat itu lepas dari kepala mereka setiba di sana. Mereka tak
punya bayangan lagi tentang bagaimana Kampung Buku tetapi mendapatkan
langsung gambaran. Ternyata bukan sejenis perumahan, bisik salah
satu teman. Sebelum berangkat ke sana, pemuda berkacamata itu meminta
kedua temannya agar mendermakan sejumlah pakaian tak terpakai, seragam
sekolah atau apapun.
"Untuk korban kebakaran," ucapnya.
Ketika
itu di Kampung Buku sedang membuka donasi atas musibah kebakaran padat
pemukiman di Alalak Berangas. Informasi tentang tempat itu beserta
donasi ia peroleh di sosial media. Setelah berderma, mereka tak langsung
pulang. Mereka, dengan rikuh, masuk ke tempat nan menjorok ke dalam
itu.
Empat buah kios berderet-deret, cuma
bersekat dinding, tampak mejeng bermacam-macam buku dengan pelbagai
tema. Jika menangkap nama-nama kios itu antara lain: Sabuku Bookshop,
Thalib Bookshop, Tanda Petik Books, serta Toko Buku Antasari. Juga
sebuah kafe sederhana, di mana toples-toples berisi jenis-jenis kopi
tersusun rapi di para-para (Kedai Matahari namanya).
Di
sebuah meja sekumpulan orang duduk mengeliling. Mereka turut
mengerumun. Pria dengan rambut panjang sebahu memimpin diskusi. Sumasno
Hadi, dosen Sendratasik FKIP ULM, serta lulusan S2 Pendidikan Filsafat
di Universitas Gadjah Mada. Ia mentor dalam kelas filsafat malam itu.
Kelas rutin dilaksanakan. Begitu juga kelas-kelas lain seperti misal,
sastra, drama, dan etnografi. Itulah agenda mula-mula saat Kampung Buku
baru dibuka sampai beberapa bulan.
Setelah malam itu, pemuda berkacamata itu jadi lebih sering ke
Kampung Buku dengan maksud menimba ilmu. Sebagian besar ilmu ia peroleh
cuma-cuma. Tak dinyana, empat bulan kemudian, ia resmi menjadi bagian
dari Kampung Buku itu sendiri. Tepatnya pada 1 Februari 2020, ia bekerja
sebagai penjaga toko buku. Mula-mula berdua--rekan datang silih
berganti--sampai cuma ia seorang saja. Ia bertahan, sebagaimana Kampung
Buku bertahan.
Ia menyaksikan secara lebih
dekat setiap perubahan yang terjadi di tempat itu. Pengunjung datang dan
pergi. Beberapa datang dan pergi tanpa terlihat lagi. Usaha-usaha yang
tumbuh bersama sebelum kemudian tercerabut, satu persatu. Pertaruhan
nasib buku-buku. Perayaan demi perayaan, kesunyian demi kesunyian. Tapi
di sisi lain, komunitas terbentuk, ide-ide kreatif tumbuh.
Sebab,
Kampung Buku bukan sekadar toko buku. Ia memproyeksikan gairah insan
kreatif dan membentuk cara pandang individu-individu yang kerap datang
ke sana. Ia adalah ruang komunitas yang tumbuh ketika orang-orang di
Banjarmasin belum begitu karib dengan konsep ruang kreatif komunal.
Tiga
tahun bukan tak terasa. Ibarat mesin motor, ia seolah ngos-ngosan
mendaki tanjakan curam. Ia tetap berusaha, bertahan, meski terus
berusaha meraba-raba bidang landai.
Kampung Buku menghimpun cerita-cerita, entah dari dirinya atau dari
orang-orang yang datang. Mungkin cerita terbaik darinya bisa kita ikuti
dari sudut pandang Rizky A. Setiawan--si pemuda berkacamata--seniman
muda sekaligus penjaga toko buku selama hampir tiga tahun.
Tempat Menggodok Pengetahuan dan Mewujudkan Mimpi
Para
penjaga toko buku punya cara pandang yang boleh jadi berbeda. Ini
adalah pekerjaan yang tak memilik prospek, dan tak membutuhkan keahlian
khusus atau ketertarikan terhadap buku sama sekali. Satu-satunya yang
dibutuhkan dalam pekerjaan ini adalah kemampuan untuk melayani
pelanggan, mencatat, dan sesekali memikirkan cara agar usaha buku tetap
bertahan. Ini adalah pekerjaan longgar, seperti penjaga malam atau
penjaga toilet.
Rizky mempunyai cara unik saat
pertama kali bekerja sebagai penjaga toko buku. Ia mengenali jenis-jenis
buku dari judul sampai tentang buku itu sendiri. Ia juga punya
pengalaman tak kalah unik dan bikin terharu.
Sekira
sebulan ia bekerja, lima bocah masih dengan seragam pramuka berkunjung
ke Kampung Buku. Ia menyambut kelima bocah tersebut, dan memandunya.
Setelah mengintip kios demi kios, buku demi buku, pilihan mereka jatuh
kepada buku memoar Etgar Keret berjudul The Seven Good Years .
Tapi
mereka tak segera membelinya. Masing-masing mereka mengeluarkan uang
dengan nominal berbeda-beda. Kemudian dari hasil patungan itulah mereka
membelinya.."Aku dulu membacanya, ya?" ujar salah seorang bocah.
"Kalau menyimpannya nanti di rumahku saja. Karena di rumahku lebih rapi," kata bocah yang lain.
Itu
membikin sedikit hati Rizky terenyuh. Setidaknya ia tahu, bahwa di kota
ini, minat baca tidak sungguh-sungguh mati. Masih ada beberapa orang,
meski terbatas finansial, mau menyisihkan uang untuk sekadar membeli
buku adalah pemandangan langka.
Sudah pasti,
penjaga toko buku juga tak bisa tidak lepas dari hubungan interaksi. Ini
menjadi masalah Rizky pada masa-masa pertama. Ia tidak pandai
bersosial, dan tak suka musti bersopan santun. Ia lebih suka meringkuk
di sudut dan membaca atau berpikir atau menulis, dan tak tersentuh oleh
siapapun. Mahasiswa datang berbondong-bondong, misalnya, membikin ia
merasa rikuh. "Kerumunan membuat saya pusing," katanya.
Tapi belakangan ia perlahan-lahan mampu mengatasi masalah tersebut.
Dengan mengambil manfaat dari Kampung Buku, menumbuhkan relasi, dan
mengasah kemampuan menulis maupun melukis, sekarang ia berpenghasilan di
luar pekerjaan sebagai penjaga toko buku. Semula ia buta kesenian, kini
namanya turut termaktub di Dewan Kesenian Banjarmasin dalam Komite Seni
Rupa.
"Di Kampung Buku inilah tempat saya
terhubung dengan orang-orang yang membutuhkan saya sebagai tukang
gambar," tambahnya. "Di sini, saya menarik upah lewat hal yang saya
suka--melukis!"
Dia sering pula disertakan
menjadi bagian proses dari penciptaan buku. Sudah beberapa sampul buku
ia ciptakan. Tak disangka, kerja-kerja tersebut menguntungkan melebihi
pendapatan tetapnya. Selain itu, di antara seniman-seniman lukis
Kalimantan Selatan namanya mulai dipandang, dan beberapa kali
diikut-sertakan dalam pameran bersama. Sedikit banyak ia merasa
beruntung, di tempat ini, telah menjadi rumah sekaligus tempat membentuk
mimpi yang siap diwujudkan seiring berjalannya waktu.
Itulah
salah satu alasan mengapa ia tetap bertahan, sebagaimana Kampung Buku
bertahan, sedangkan minat masyarakat untuk membeli buku di toko buku
fisik bisa dibilang masih belum mudah. Pelbagai strategi pemasaran coba
ia terapkan, tetapi tak pernah benar-benar ajeg.
Tiga tahun ini adalah tiga tahun ia kemudian dengan nada lesu mengatakan kepada penulis, "Belakangan ini kami terseok-seok."
Tetap Bertahan Sebab Idealisme serta Komunitas
Sebelum bernama Kampung Buku Banjarmasin adalah tempat tak terurus, dan sebelum tempat tak terurus adalah usaha percetakan.
Berlokasi
di Jalan Sultan Adam, Kelurahan Sungai Miai, Kecamatan Banjarmasin
Utara, dekat dengan Bakso Bandara. Kampung Buku dibangun dengan
optimisme oleh Hajriansyah dengan inisiasi dan semangat beberapa teman.
Harapannya sendiri untuk memberikan akses literasi dan membuka kesadaran
masyarakat tentang betapa pentingnya membaca.
Kata
"Kampung" diambil berdasarkan kultur kehidupan masyarakat Banjar.
Kampung, kata Arif (salah satu pendiri), berbeda dengan desa. Kalau desa
administratif, sedangkan kampung hidup dari komunitas-komunitas kecil
yang perannya tak bisa diremehkan. Atas dasar inilah kemudian nama
"Kampung" dipilih melengkapi kata "Buku" sebagai semangat literasi yang
semula dibawa.
Kampung Buku juga dibingkai
dalam tiga pilar yang tergambar di logonya. "Pada saat itu kami meyakini
ada tiga pilar yang membangun literasi," kata Arif lagi dalam kanal
YouTube Kambuk TV. "Membaca, menulis, dan berpikir kritis."
Pada 10 Juli kemarin, resmi tiga tahun usianya. Potensi Kampung
Buku sebagai tempat tongkrongan di Banjarmasin memang mulai terlihat
setelah beberapa bulan berjalan. Tapi, meminjam istilah Rizky, sebagai
usaha ia terseok-seok seiring kalender berganti.
Kampung
Buku dikenal sebagai tempat alternatif membeli buku, selain perusahaan
besar semisal Gramedia. Tapi bagi orang-orang tertentu yang datang ke
sana, atau siapapun, sebenarnya, ia adalah tempat mereka mendapat
referensi kultural di luar media arus utama. Tempat itu menyimpan kisah
orang-orang menggodok ide, mempertemukan insan-insan, tempat terbaik
buat menyendiri sekaligus ruang diskusi, tempat seni berkembang dan
tetap berpengharapan besar, dan sebagainya, dan sebagainya.
Luas
Kampung Buku sekitar 400 meter persegi. Semula empat kios toko buku,
sekarang cuma dua bertahan. Thalib Bookshop dan Mazayaka Books ialah dua
itu. Di antara kios itu terselip kedai kopi Prabayaksa, menyeduh
beragam menu kopi nusantara.
Berhadap-hadapan
dengan kios buku, tujuh banner berisi foto dan biodata penyair asal
Kalimantan Selatan serta puisinya terjurai. Di samping kios buku, ada
sebuah kedai lain menjual menu kopi sachet maupun mie rebus. Meja dan
kursi tersusun dari jalan masuk sampai menjorok ke belakang, di mana
pada ujungnya terdapat beberapa rak berisi buku-buku sebagai
perpustakaan.
Di sana, entah jurnalis, musisi, dosen, siapapun, bebas membaca,
diskusi, sharing pengetahuan maupun bertukar kelakar.
Komunitas-komunitas kecil semacam ini yang membikin ia tetap asyik
digunakan setiap waktu, dan membuat Kampung Buku jadi lebih spesial
dalam mewarnai ranah kreatif lokal. Sudah beberapa kali terselenggara
bermacam acara kesenian, peluncuran buku, dan pemutaran film. Bahkan
sempat dijadikan tempat acara Aruh Film Kalimantan pada akhir tahun 2020
kemarin. Juga difungsikan sebagian ruangan untuk pameran lukis, seperti
tidak lama ini duet antara dua pelukis, Hajriansyah dan Badri dalam
pameran Puzzle Drawing On Kambuk.
"Sebenarnya
Kampung Buku sudah goyang sebelum setahun jalan," Rizky berkata kepada
penulis. Geger pandemi kata dia, mengubah berbagai formasi. Tak bisa
dihindari pula kemudian ialah penjualan buku mengalami penurunan
drastis, dan berikutnya cenderung konstan.
"Salah
satu puncaknya saat banjir nyaris mencaplok seluruh kota di Kalimantan
Selatan, tak terkecuali Banjarmasin, pada awal tahun 2022 ini."
Salah
satu inisiator dan pelapak toko buku di sana, Reza Pahlevi mengatakan
alasan Kampung Buku tetap bertahan tak lepas dari semangat idealisme
yang diusung sejak pertama dibangun. "Kami sendiri ingin di kota ini
terdapat satu ruang publik alternatif yang bisa bermanfaat dan digunakan
oleh komunitas-komunitas."
Hanya saja menurutnya, meski telah berusia tiga tahun, masih ada
sebagian masyarakat di Banjarmasin yang tak tahu eksistensinya. "Ini
tentu menjadi tugas kami ke depan untuk menggiatkan lebih promosi agar
orang-orang mengetahui."
Hajriansyah selaku owner
Kampung Buku Banjarmasin tetap menggamit sejumlah harapan. Selain masih
bertahan dengan visi awalnya untuk menjaga dunia literasi di
Banjarmasin, juga buat memberi akses terhadap bacaan berkualitas, murah,
dan memberi ruang alternatif terhadap seni budaya, terutama di
Banjarmasin.
Selebihnya kata dia, dengan terus
konsisten dan semakin maju dengan wacana-wacana intelektual, budaya dan
agama, demi memberikan kontribusi wacana perbaikan bagi kota
Banjarmasin, dengan terus-menerus berbenah. Dalam pembenahan itu salah
satunya ialah dengan seruan "memanggil".
"Siapa
saja yang merasa Kampung Buku penting sebagai bagian pemajuan
kebudayaan, semestinya merasa terpanggil dengan seruan (memanggil) ini,
dan mengisi celah-celah kekurangan kita selama ini," Hajriansyah, owner Kampung Buku yang juga jadi Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin berkata kepada penulis.
Jika
boleh penulis memberi sedikit kesimpulan: betapapun Kampung Buku terus
berkembang sebagai ruang komunitas, ruang menggodok ide, atau ruang
bertukar pikiran, namun DNA Kampung Buku sendiri adalah ruang literasi.
Jika lebih spesifik lagi, ia adalah toko buku. Tanpa buku, mungkin ia
tak berarti apapun--sekadar nama tanpa jasad. (musa/sip)
Post a Comment