Bergelimang Aktor Gemilang: Pertunjukan Drama Klasik Antigone Dalam Kilas Balik
BANJARMUDA.COM - Bibit-bibit ketegangan telah melingkupi sejak adegan pertama. Serombongan orang--laki dan perempuan--berbusana sejenis himation
(pakaian masa Yunani Kuno) bergerak ke tengah panggung. Langkah mereka
teratur. Perlahan mereka merubung membentuk lingkaran sebelum kemudian
menghambur.
Seorang perempuan berbalut gaun biru gelap chiton dan sampur jingga menjuntai ke tanah nongol
tiba-tiba; bergerak ke sana kemari seraya diliputi semacam amarah
menggugat. Ia adalah Antigone (diperankan amat apik oleh Rinesundhari),
tokoh utama dalam drama klasik Sophokles ini.
Mula-mula
ia mendamprat satu orang, kemudian berbicara kepada massa serupa
berkhotbah. Lagaknya memang tak berlebihan, tapi ada semacam guntur dan
kesedihan meledak secara bersamaan dalam dirinya. Adegan menjadi lebih
dramatis saat Rine naik ke atas kursi singgasana. Lonceng berdentang
sesekali. Sorot mata sebentar mencari sumber dentangan. Tata cahaya yang
berubah-ubah menggiring suasana kelam. Sepintas kemudian Antigone
mencekik lehernya dengan kedua belah tangan. Kita tahu, itu adalah
simbol dari kematian Antigone sebab gantung diri di dalam gua tempat ia
dihukum.
Haemon semula--berselubung kain hitam--bergeming di sudut tiba-tiba
menyerobot ke tengah panggung. Ia bersimpuh di dekat kaki Antigone
sambil menangis tersedu-sedu, tak sanggup menelan kesedihan atas
kematian istrinya. Lantas ia menikam tubuhnya sendiri dengan pedang, tak
lama setelah sang ayah Kreon masuk. Adegan yang seharusnya menjelang
akhir itu menjadi pembuka pertunjukan berdurasi dua jam. Secara tak
langsung disebut, pementasan ini menggunakan teknik foreshadowing atau peramalan--menampilkan kejadian di masa depan--sebagai kail bagi penonton mengikuti kilas balik cerita.
Di bawah arahan sutradara Edi Sutardi, drama Antigone dipentaskan di Gedung Balairung Sari Taman Budaya, Banjarmasin
Utara, malam tadi, mendapat decak kagum penonton. Teks diangkat
langsung dari naskah Antigone oleh Sophokles yang dialihbahasakan Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1974. Beberapa dari teks naskah terjemahan
tersebut sedikit digubah untuk memperingkas durasi. "Semula panjang
naskah 72 halaman, kemudian diedit menjadi 25 halaman saja," ujar Edi.
Antigone
mengisahkan kehancuran dan malapetaka yang merundung negeri Thebes
sepeninggal Oedipus. Dalam Antigone—lanjutan terakhir dari cerita Oedipus Rex
yang pernah diterjemahkan Rendra—Kerajaan Thebes kini diperintah oleh
Kreon. Tokoh inilah yang menggantikan Oedipus, sang raja yang telah
menusuk matanya dan meninggalkan tahta sebagai hukuman atas dirinya
sendiri.
Polyneices, salah seorang putera Oedipus, mati dalam perang saudara
itu karena dituduh sebagai pengkhianat yang hendak merebut tahta.
Jenazah yang telah dihinakan itu tidak boleh dikubur, tetapi Antigone
sebagai adik kandung diam-diam memakamkannya secara khidmat. Akibatnya,
Antigone dianggap pengkhianat pula dan Kreon kemudian menghukum
perempuan muda itu dengan mengurungnya di sebuah gua.
"Dalam
tafsir Kundera, baik Kreon—yang hendak menjaga ketertiban hukum
Thebes—maupun Antigone, yang tergerak untuk melawan ketertiban itu
karena hukum Kreon melawan rasa keadilan dan aturan dewa-dewa, tampil
bukan sebagai Terang kontra Gelap. Keduanya bersalah, tapi juga tak
bersalah. Yang penting ialah pengakuan, bahwa ada dosa di kedua belah
sisi. Hanya dengan mengakui dosa itu, sebuah karakter menjadi karakter
agung dan berbaik kembali pun jadi mungkin," tulis Goenawan Mohammad
dalam Catatan Pinggir 7.
Terlepas dari konteks cerita, salah satu menarik perhatian ialah
Fauzian Anshari saat memerankan Kreon. Tak dinyana ia lebih muda dari
pemeran Antigone dan Haemon, tapi demi mendapat kesan seorang tua dan
wibawa si penguasa Thebes, ia menekan timbre suara lebih dalam.
Pembawaannya tersaji dari tubuh dan insting untuk menampilkan gairah
dari tokoh Kreon yang merasa selalu benar. Hal itu bisa terlihat saat ia
dengan sungguh-sungguh menampar Haemon (Bayu Bastari) setelah saling
berdebat soal dihukum atau tidaknya Antigone. Beberapa penonton seketika
menjerit lantaran kaget.
Lainnya ada Muhammad
Rifky sebagai Kapitan, tokoh suruhan dari Kreon, dengan polah slebor dan
lebih seperti berceloteh ketimbang memberi kabar tentang orang yang
telah melanggar aturan kepada Kreon. Kurome Arijadi juga tak kalah saat
memerankan Teiresias, peramal tua dan buta dari Thebes, meski terlampau
tak terlalu menonjol. Kendati demikian, secara keseluruhan, ini adalah
pementasan teater yang bergelimang aktor gemilang.
Tentu,
kunci sukses pementasan ini juga tak bisa ditampik sebab campur tangan
Edi Sutardi di belakangnya. Dia mengaku sudah membaca naskah Antigone
sejak kuliah tahun 96, dan sempat pula digarap pada 2009 sebagai bagian
dari ujian program Pendidikan Seni Tari di STKIP PGRI Banjarmasin.
"Latihannya cuma sebulan. Dengan dua puluh dua kali pertemuan, kurang lebih tiga jam sekali latihan," kata Edi.
Edi, 46 tahun, mulai menggeluti teater pada 1993. Sembilan tahun
kemudian ia membuat kelompok Teater Matahari bersama Patrick Reynard,
Sani Aditama, serta isterinya, Rinesundhari. Sejak itu ia telah
mengarungi pelbagai pementasan di Indonesia, seperti Bunga dalam Mulut (Luigi Pirandello), Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati (Victor Hugo), Juru Kunci (Rene Yves Duvalier), The Lover
(Harold Pinter), dan berbagai pertunjukan monolog. Dalam kurun waktu
empat tahun saja, Teater Matahari telah main di 25 kota di Indonesia
sebanyak 40 kali pertunjukan. Tapi belakangan anggotanya dipunggungi
hanya oleh ia dan sang isteri.
"Karena bagi
saya, membuat pentas teater itu semacam panggilan, di mana saya
menemukan hal yang esensial dalam hidup. Saya ingin membagikan itu."
Antigone ini sendiri adalah pementasan dalam rentang waktu yang cukup jauh setelah terakhir 27 Desember 2019 dengan monolog Anzing --pertunjukan yang berlangsung sekitar 45 menit itu juga memperoleh decak kagum penonton. Antigone
menurutnya memberikan segudang tawaran yang masih relevan jika dibawa
ke masa sekarang. Ia bisa ditarik ke dalam konteks politik, hukum,
kemanusiaan, agama maupun cinta. "Bagaimana bahwa kekuatan cinta mampu
mengalahkan segalanya sampai putus hubungan dengan keluarga, dalam hal
ini kematian. Bahkan jika kita ingin menjadikannya konteks permasalahan
politis juga bisa. Antigone itu sebagai gambaran rakyat, dan Kreon
sebagai penguasa."
Antigone juga pernah dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra
pada tahun 1974 degan mempesona. Dengan rambut memutih, tulis Goenawan
Mohammad dalam majalah Tempo , pipi menipis, raut menua tapi mata tetap
ekspresif, Rendra muncul. Ia menggeram. Ia Kreon. Mungkin jika Rendra
menjadi pembanding terhadap tolak ukur keberhasilan penampilan Fauzian
sebagai Kreon, tentu tak bisa dibantah, masih belum cukup memuaskan.
Tapi
kita mesti tahu; saat itu Rendra, tulis GM lagi, mencoba memelihara
semangat rituil dari teater tragis ini, seperti konon begitulah
Sophocles. Kreon tidak tampil dalam topeng seorang yang terjaring Nasib,
tapi seorang tertuduh yang membela diri--dengan kecongkakan, ketakutan
dan penyesalan yang terlihat dari parasnya.
"Sudah
lama nggak main teater, jadi hafalan agak susah. Juga ini pertama
kalinya saya membaca naskah klasik," kata Fauzian saat ditemui selepas
pentas Antigone.
Bagaimanapun,
pementasan ini menjadi ilustrasi cantik dan megah dari rentetan
pementasan teater belakangan yang, disadari atau tidak, mulai lesu
akibat pandemi, terutama di Banjarmasin.
Wahai,
Para Wakil Rakyat Thebes, berlutut dan berdoa. Kami sebut kamu, wahai
arwah nenek moyang. Kami sebut kamu, langit dan bumi. Kami sebut kamu,
wahai Bachus, Dewata. Mereka, pemandu suara, melangkah perlahan
membentuk formasi melingkar. Suara mereka menggema dengan tangan
mendongak ke atas. Musik melankolis, entah dari mana, mengalun.
Serombongan lain berselubung kain hitam berjalan di keremangan panggung.
Kreon memimpin di depan mereka. Sekelebat gelap dan terang kembali,
Haemon tampak tergeletak begitu saja. Kreon menangis tersedu sedan
mendekati sang anak, mengangkat kepalanya, tidak bisa menanggung
kesedihan yang tak tertahankan. Kreon bersimpuh, mencoba teriak, namun
tak kuasa. Ia masih penguasa, tapi ia juga tak kuasa. (musa/sip)
Post a Comment