Perihal Paman Kelotok dan Bumbu Ceritanya yang Kita Lewatkan Begitu Saja
"Suruh orang yang sering mengemudikan mobil, biar mahir sekali pun,
tetap akan kesulitan jika menghadapi kelotok," kata Murjani seolah
menjadi sopir kelotok telah memberinya sedikit daya hidup, dan tak boleh
diragukan.
Musa Bastara | BANJARMASIN
Kelotok
adalah perahu bermotor (di daerah Kalimantan Selatan) terbuat dari kayu
untuk transportasi sungai. Kelotok yang biasanya digunakan untuk
pariwisata menyusuri sungai adalah kelotok yang bentuknya seperti perahu
dan pada bagian atas ditutupi oleh atap. "Kalau dulu kelotok disebut
taksi," jelas Murjani.
Ketika ditemui jurnalis beritabanjarmasin.com,
Rabu (15/6/2022) malam, pria berusia 36 itu baru selesai menyeduh kopi
hitam (dalam gelas dari botol bekas yang dipotong separuh), kemudian
bersungut-sungut bersama beberapa teman sesama sopir kelotok,
minum-minum dan merokok.
Keadaan jauh lebih sulit dari yang dikira. Beberapa sopir kelotok
menolak untuk diwawancarai ketika kemudian cuma tersisa Murjani, ia
mengajak duduk di kursi dekat buritan kelotok yang telah diikat tali
pancang. "Mari saya temani." Lalu, ia menyodorkan bungkus rokok kepada
jurnalis. "Saya tak merokok." Singkat dan tentu saja, mudah dipahami.
Malam
kian dingin, tapi di sungai dan darat, kota belum kehabisan
kesibukannya. Dekat tepian, Sungai Martapura yang gelap jadi gemerlapan
berkat lampu yang berderet-deret, seakan di dalam air sengaja
ditumpahkan batu zamrud, pirus, turkois, topas; hingga tampak
bersinar-sinar.
Secara administratif, Sungai Martapura melintasi 2 wilayah: Kabupaten Banjar dan kota Banjarmasin.
Sungai Martapura memiliki panjang keseluruhan 80 kilometer sedangkan
yang dapat dilayari sekitar 45 kilometer dengan lebar rata-rata 150
meter dan kedalaman air tertinggi empat meter dan terendah 2,4 meter.
Tak
lama selepas kami duduk, sebuah kelotok perlahan hendak meraih tepi
dermaga. Pertama-tama, ia memutar setengah, sedangkan mesin dompeng
lebih dulu dimatikan. Lambat laun dalam posisi menceng, kelotok
dibiarkan terapung-apung hingga mencapai dermaga. Beberapa penumpang
yang bersila di atas atap sudah tak sabar buat turun. Setelah tambat,
sebidang papan dibaringkan antara batang dan atap kelotok. Satu persatu
menyeberangi titian dengan hati-hati, lantas pergi sambil beroleh-oleh
senyum.
"Bagian paling sulit dari mengemudikan kelotok, adalah memastikan
kelotok dapat terparkir mulus," ucap Murjani. Rokok di tangannya
tahu-tahu sudah menyala.
Dia mengaku baru
setahun menjadi pengemudi kelotok, tapi dari gelagat serta
pengetahuannya tentang kelotok patut dicurigai. Dia jelas lebih seperti
orang yang telah mengenal kelotok bertahun-tahun. Sebelumnya, jurnalis
sempat bertanya pada seorang sopir lain dan singkat ia bilang "baru
sebulan", dengan sedikit keragu-raguan. Entah, tak tahu benar mengapa
bagian ini seolah disepakati buat dirahasiakan.
Pendapatan
seorang sopir kelotok memang tak bisa disebut rendah. Tapi tinggi juga
tidak. Sebagaimana Murjani, ia mesti membagi setengah hasil karena
kelotok yang disopirinya milik orang lain. Berbeda bila dengan kelotok
sendiri, sehari bisa sekitar 100 ribu.
Jika
dibandingkan ikut teman sebagai sopir angkutan, pendapatan Murjani
sekarang memang tak sebanyak dulu. Namun, sopir kelotok adalah pekerjaan
santai. Jika meminjam istilah Murjani, "sedikit bekerja, banyak
bercakap-cakap". Jika ditotal sebulan, pendapatannya kurang lebih
sekitar dua juta. Untuk menghidupi satu istri, dan dua orang anak yang
masih sekolah, demikian ia rasa cukup.
Adapun,
di samping mengemudikan kelotok, ia juga kerja serabutan. "Kerja
bangunan atau memperbaiki mesin, bisa," katanya. "Intinya, apa yang bisa
dikerjakan, saya kerjakan."
Kelotok di sana memang memakai sistem bergilir. Sebagian besar sudah
terdaftar, dan dari daftar itulah nantinya giliran ditentukan. Tapi
khusus Sabtu dan Minggu, giliran ditetapkan dari nama yang keluar saat
dikocok (seperti dalam arisan) pada hari sebelumnya.
Sebagaimana debit sungai, bisnis kelotok juga mengalami pasang
surut. Diperkirakan sudah ada sejak tahun 1960-an, dari dulu kelotok
memang sudah dijadikan moda transportasi populer di perairan,
menggantikan popularitas tambangan pada tempo sebelumnya.
Pada
tahun 2000-an sempat meredup, kemudian untuk terus menjaga eksistensi
tersebut Pemerintah Kota Banjarmasin, khususnya Disbudporapar
memfokuskannya sebagai trayek wisata susur sungai.
Pada
tahun 2019, keseluruhan kelotok ada 88 buah sudah terdaftar di Dinas
Perhubungan Kota Banjarmasin. Mereka yang beroperasi hanya kelotok yang
sudah memiliki kelengkapan surat. Angka tersebut semakin menipis. Kini,
total keseluruhan sopir kelotok di Menara Pandang berjumlah sekitar 35
orang. Kendati eksistensinya kini agak menurun, beberapa perkara juga
terus membayang-bayangi.
Contohnya, masa
pandemi (baca: Covid-19). Sekira tiga tahun tak kunjung reda, meski
sejumlah aturan telah dilonggarkan, masih jadi buah simalakama bagi
bermacam sektor ekonomi.
Sudah dua tahun Parade
Jukung Hias mandek. Saat masih ada parade, para sopir kelotok selalu
ketiban rezeki. Masing-masing kelotok kadang menerima carteran. Selama
tiga hari, mereka biasa dibayar jutaan.
Selain
itu, bahan bakar belakangan melonjak. Profesi ini salah satu yang
terkena imbas. Solar naik sekitar 20 persen, sedangkan tarif susur
sungai masih sama. Untuk ke Pasar Terapung saja, misal, solar bisa habis
sekitar 10 atau 15 liter.
Belum lagi, tidak lama tadi, terdapat suatu musibah. Musibah
dialami oleh seorang penumpang. Ketika duduk di atas atap kelotok, ia
tak sadar bakal melewati sebuah jembatan. Sekejap kemudian, bencana
lebih dari sekadar "kejedot" itu tak bisa dihindari. Si penumpang sempat
pingsan dan menerima penanganan segera. "Sejak ada musibah itu,
sebagian orang jadi takut naik kelotok."
Belajar
dari petaka yang menurut Murjani baru sekali itu, penumpang tetap
diberi imbauan. Tetapi, aturan tetap karet pada saat-saat tertentu.
Termasuk malam itu. Sejumlah penumpang (sebagian besar anak muda) masih
membandel duduk di atap kelotok. Tapi karena malam itu tak terlalu
ramai, maka dibiarkan, sambil diberitahu beberapa ketentuan. "Memang
selalu dikasih teguran, tapi jarang ada menurut, apalagi anak muda. Kata
mereka sih karena tak puas melihat."
Pada
esoknya, jurnalis beritabanjarmasin.com kembali ke lokasi. Suara
otok-otok-otok lebih terdengar, dan burung-burung lebih ceria, saat pagi
selesai merekah. Hanya terlihat satu orang--seorang pemuda setempat
yang kelak kita kenal dengan nama Jirin, duduk sambil memainkan telepon
cerdas. Selang beberapa menit bercakap, diketahui ia bekerja menjadi
sopir kelotok sudah dua tahun.
Pemandangan kelotok-kelotok yang tambat di Siring Tendean Banjarmasin. Foto: Musa Bastara
Serentang pengalaman dua tahun itu, ia memang tak pernah menemui
cerita-cerita unik dalam profesinya, tapi dari kisah segelintar sopir
lain, ia sering mendengar cerita, konon di sungai itu, acap bertemu
buaya inguan meski tak secara langsung.
Post a Comment