FEATURE: "Bahan Bakar" Artistik Pelukis Kalsel Badri Hurmansyah, Serat Melingkar Sebagai Pintu Ke Masa Lalu
Badri curiga, di dunia masa kecil terdapat lebih banyak hal
ketimbang yang dapat ia lihat sekarang. Ingatannya dulu saat ikut sang
ayah melukah, memasang tamburu, mencari kepah, sehangat ingatan hari
ini, dan kemarin. Suara bising kelotok, udara segar hutan, tangan ibu,
seluruh dunia dari masa kecil; satu-satunya cara untuk membebaskan
kenangan itu baginya adalah dengan melukis. Sesuatu yang di kemudian
hari ia ketahui sebagai bahan bakar artistiknya.
Musa Bastara | BANJARMASIN
Badri
Hurmansyah, 27 tahun, telah bersentuhan dengan dunia lukis sedari masih
bocah. Ia berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Ayahnya
seorang nelayan--pagi mencari ikan, sore beroleh tangkapan--tak mengenal
dunia melukis seperti juga ia tak mengenal di Champ de Mars ada menara besi yang mirip kerangka raksasa manusia.
Untuk
terus melukis, maka ia sering bersitegang dengan otoritas sang ayah.
Apalagi ia anak tertua dari empat bersaudara, sudah sepatutnya memang
berbagi beban panggulan. Macam-macam pekerjaan sudah ia coba, dari
berjualan es lilin hingga menjadi kuli bangunan tiga tahun.
Pernah
suatu ketika, ia tidak mengerjakan PR matematika, dan malah memutuskan
menggambar. Lantas, gambarannya disobek si ayah begitu saja, sambil
didamprat, "Kamu tak akan sukses dari menggambar!" Ia menirukan
perkataan sang ayah, seolah telah dihafal dan diucapkan berulang kali.
Mendengar itu, ia tak sekonyong-konyong putus asa. Malah dari
ucapan itu menjadi cambukan baginya, antara diejek atau dikasih
tantangan, sanggup menghasilkan satu efek yang dahsyat--sebuah energi.
Walau selepas itu, ia masih tak berani terang-terangan melukis. Saat
dimarahi, misalnya, ia masuk ke kelambu untuk melukis sambil menangis
terisak-isak.
"Kendati demikian, saat itu saya
merasa yakin memilih jalan ini (melukis), meski waktu itu tak tahu
sebutannya ialah seniman, atau pelukis," katanya kepada beritabanjarmasin.com, Rabu (15/6/2022).
Masa
lalu memang seperti kawat-kawat yang tak terlihat menggantung di udara,
dan menghubungkannya dengan masa kini. Bergerak serupa ombak mengecup
bibir pantai; kadang mendekat, kadang menjauh. Seperti dua sisi pada
satu koin yang sama.
Badri masih ingat saat pertama ikut lomba. Saat menjadi santri di
Pesantren Rakha Amuntai, sang mualim (sebutan tenaga pendidik di
pesantren) tertarik dengan apa yang ia lukis. Lalu, diikutkanlah ia
lomba, tapi celakanya, dari delapan belas peserta, ia berada di urutan
terakhir. "Sebab saat itu saya belajar melukis sendiri, tak pernah ikut
les melukis, dan sebelumnya tak pernah ikut lomba di mana pun."
Karena
kekalahan itu semangatnya untuk melukis terkuras sedikit demi sedikit.
Setahun ia berhenti melukis, hingga berkenalan dengan seorang guru yang
secara khusus mengajari ia melukis. Tak patah arang. Selepas enam bulan
belajar, ia ikut lomba lagi. Kali ini se-kabupaten, dari sebelumnya cuma
setingkat pesantren. Berkat usahanya, ia berhasil menggondol juara dua.
Saat itulah kepercayaan orangtuanya mulai bangkit.
"Keberhasilan
paling gemilang dari semua keberhasilan adalah mendapat kepercayaan
orangtua. Itu lebih dari prestasi apa pun," ucapnya.
Setelah
lulus dari sekolah menengah, berbekal restu dan jerih payah selama ini,
ia melanjutkan sarjana di sendratasik ULM. Disambung kemudian dengan
meraih gelar magister di Insitut Seni Indonesia Surakarta (ISI). Dari
sekadar belajar teknik sampai konseptual, sudah ia jalani.
"Tapi
bagaimana pun, masa lalu adalah guru terbesar," katanya. "Karena ketika
pergi ke masa lalu, saya serasa melihat dunia lebih luas."
Ketika ia melihat arsip gambar di buku-buku pelajaran sekolah, ia
mendapati potret-potret wajah dan anatomi manusia. Berbeda seperti
kebanyakan bocah-bocah sebaya yang lebih gemar menggambar dua undakan
gunung, dengan matahari menjengul di tengah-tengah, dan sebuah jalan
menikung. "Saat ini menggambar manusia serasa ringan, spontan."
Lihatlah,
sejumlah lukisan muka bocah-bocah Badri: meringis, bersedih, tertawa
dan tidak tertawa. Ia menyebut ciri khas tersebut sebagai "serat
melingkar" sebab ia tekun memakai garis-garis acak, yang menurutnya
adalah usaha untuk kembali ke masa kecil. Saat ia bermain layang-layang,
mencari kepah, dan memancing ikan bersama teman-teman.
"Memori masa kecil adalah cara melihat diri saya, bagaimana melihat dunia, membaca dunia."
Tak
heran, jika kau kebetulan berkunjung ke Kampung Buku di Jalan Sultan
Adam, mendapati sebuah dompeng teronggok sembarang. Pada sekujur besi
berkarat itu berkelir hitam pekat, dengan corat-coret cat putih, kuning,
merah. Di lantai semen, tepat di sekitar dompeng, terdapat coretan
bercorak sama. Coretan itu serupa riak yang mengekori buritan sebuah
kelotok yang sedang melanglang.
Dompeng itu tak
sekadar berbagi memori bahagia. Ia berduka sekaligus bersedih karena
suatu hari, yang dikenangnya sebagai salah satu momen mengerikan
sepanjang hidup, seorang temannya tewas digulung roda dompeng yang
menyala.
Mengingat kilasan-kilasan masa silam, sedih dan bahagia, matanya tak sadar berkaca-kaca. (musa/sip)
Post a Comment