FEATURE: Pasar Batuah, Satu Hari Untuk Selamanya (Bagian 2)
Mengingat Sabtu 18 Juni 2022, pagar pembatas jalan dibentangkan di
simpang Jalan Gatot Subroto arah ke Jalan Veteran. Pagi itu, sejumlah
jalan ditutup sementara. Beberapa personel dikerahkan buat mengHadang
dan mengatur arah simpang siur motor. Sebagian pengendara memutar motor
sebelum mencapai simpangan sebab mengira ada penertiban, sebagian lagi
mencari jalan pintas, mengikuti arahan dari personel Satlantas Banjarmasin.
Musa Bastara | BANJARMASIN
Sekitar
800 meter dari sana, ratusan orang memadati jalanan seperti semut
mengerumuni bangkai kecoa. Laki-laki, perempuan, tua-muda, ibu rumah
tangga, berbaris membentuk barikade di akses menuju Pasar Batuah.
Sholawat mengguruh di langit, disusul tangis dan teriakan. Mereka
bersila, bersimpuh, dengan tangan mendongak ke atas. Di sisi lain,
puluhan peleton gabungan dari kepolisian, satpol serta brimob, telah
siaga untuk terjun melaksanakan penggusuran. Dua buah eskavator seperti
monster besar yang siap mengamuk dan melahap apa saja.
Selepas
salat zuhur berjemaah di bahu jalan, disambung doa bersama, sebuah
kabar datang dalam selembar surat. Dalam surat tersebut, Komnas HAM
meminta Pemkot Banjarmasin menunda penggusuran dan tindakan yang dapat
menimbulkan konfrontasi, sampai dicapainya solusi bersama oleh kedua
belah pihak.
Mendengar kabar itu, seketika air muka mereka berubah bahagia.
Ujung bibir spontan tertarik ke atas. Hati terasa plong dan segala macam
sukur diucapkan tak henti-henti. Betapapun kabar itu cuma sebuah
penundaan, tapi mereka berteriak-teriak diselingi tawa sekaligus tangis
haru. Ketika pasukan ditarik pulang, mereka melambai-lambai ke arah
mereka. "Bulik, bulik sana," kata seorang ibu-ibu di bahu jalan sembari
kedua belah tangan mengibas-ibas. "Dadahi aja buhannya nih," sahut yang lain dengan gerakan serupa.
"Kada behabisan!" ketus ibu-ibu di sampingnya. Dia tidak melambai, namun menodongkan smartphone
ke arah barisan panjang mobil patroli yang melintas. Para petugas cuma
cengengesan memandangi polah ibu-ibu tersebut di atas mobil yang
mengangkut mereka kembali.
Seperti diketahui,
adanya rencana penggusuran Pasar Batuah tersebut terkait dengan wacana
revitalisasi pasar senilai Rp 3,5 miliar. Luas kawasan yang bakal
direvitalisasi sendiri sekitar 1.500 meter persegi. Terdapat 191
bangunan dengan 561 jiwa. Untuk relokasi, telah disediakan 75 unit
hunian. Adapun, nantinya akan disiapkan 126 kios buat para pedagang.
Berbekal
informasi itulah, kau mendatangi lokasi tersebut dua hari selepas
kejadian untuk mencari jawaban atas apa yang membikin mereka tetap
bertahan, di samping ingin memunguti cerita-cerita.
Seperti yang sudah diceritakan (baca: bagian satu),
kau bersama temanmu Fati datang ke tempat itu saat pagi. Di
tengah-tengah itu semua, berbahagialah, sebab sebagian masih bisa diajak
bercakap-cakap, di samping sebagian lain, tentu saja, bersikap
sebaliknya. Dan saban kali kau berhadapan dalam perbincangan bersama
mereka, kau seperti turut menanggungkan kesedihan.
"Kita
harus mendapat satu cerita dari satu sumber lagi," katamu kepada Fati,
yang dari tadi cuma membuntutimu seolah kau adalah Khattam-Shud dalam
semesta Harun dan Samudra Dongeng Salman Rushdie dan ia adalah pengikut
setia yang bersumpah untuk membisu. Saat itu kalian sudah berkeliling
Batuah sekitar sejam, hampir putus asa lantaran tak menemukan cerita.
Kalian
terus berjalan ke barat, melewati beberapa kelokan dan beberapa orang
yang sepertinya tak tertarik membagikan cerita. Lalu keajaiban seolah
menyerahkan diri saat kalian berjalan arah ke luar. Di depan
persimpangan sebuah jalan aspal, terpacak sebuah warung sederhana yang
cuma ada dua kursi panjang, masing-masing menghadap meja. Di atas kursi
itu sekumpulan ibu-ibu tengah bersantap sembari berbincang-bincang.
Di
sebelah warung ada sebuah rumah bercat hijau telur asin, dan di rumah
itulah, dalam kumpulan yang lebih sedikit, kalian menemukan Nur Hasanah
dan Waginem yang juga tengah bersantap-santap. Rumah itu cuma ada satu
pemilik, tapi keakraban yang dibangun membikin mereka seperti tinggal
dalam satu rumah, seakan tak ada sekat antara tuan rumah dan tamu.
"Makan, makan," kata mereka dengan cara yang sama, pada saat yang
sama. Kalian cuma bilang terima kasih--terima kasih, bukan karena
tawaran makan atau mereka tahu perut kalian bersuara seperti landasan
pesawat, tapi lantaran mereka menunjukkan tanda-tanda bersahaja--dan
kemudian duduk di pelataran rumah tersebut. Dari mata mereka, kau seolah
melihat secercah cerita. Benar saja, mereka bersedia bercerita meski
mulanya ragu-ragu. Di antara mereka berdua, Nur Hasanah lebih lincah
soal urusan berkisah.
Nur Hasanah membetulkan
kacamata dengan punggung tangan sebelum ia memulai ceritanya. Saat ia
masih gadis umur sepuluh tahun, dulu, ada sebuah sungai luas yang
sekarang telah menyusut hingga tak bisa dibedakan dengan selokan. Di
sungai itu ia sering berenang dan bersenang-senang dan memperoleh uang
jajan. Soal uang jajan, ia ceritakan lebih menarik, bahwa dulu, para
pedagang yang berlabuh di tabing acap meminta bantuan anak-anak
untuk menurunkan dagangan dari atas jukung atau kelotok. Kadang ia
dikasih upah dari seratus sampai dua ratus rupiah untuk satu muatan.
Dengan uang segitu, ia bisa membeli macam-macam, kue atau ditabung untuk
nanti dibelikan pakaian. Usia Nur Hasanah kini tepat setengah abad.
"Tapi
betapapun sekarang serba sulit, kami sangat menikmati hidup di sini,"
katanya. Sebelah tangannya belepotan remah nasi, dan yang sebelah lagi
memegang piring yang nyaris tak bersisa. Dalam gerakan menyapu, tangan
itu tahu-tahu sudah menggenggam suapan terakhir.
Waginem, selaku tuan rumah, lebih tua sepuluh tahun dari Nur
Hasanah, sudah tinggal di Pasar Batuah sejak usia lima tahun. Sekitar
enam tahun lalu suaminya didiagnosa sakit jantung sehingga mesti berobat
sebulan sekali. Untuk terus bertahan hidup, ia bekerja sebagai seorang
penjual jamu gendong. Subuh sudah bangun untuk meracik jamu; pagi sampai
ke siang menjajakan dagangan ke Pasar Sungai Lulut, yang berjarak lebih
dari dua kilometer dari rumahnya.
Jika sedang
sehat, si suami yang mengantar ia ke pasar. Atau, anak semata wayangnya
yang telah pisah rumah lantaran telah beristri. Kata dia, meski masalah
ekonomi sering datang bagai hantu, tapi ia merasa selalu bahagia di
Pasar Batuah.
"Seumur hidup saya tinggal di
tempat ini, saya tak pernah punya musuh. Bener. Enggak pernah kami
cekcok. Di sini semua akur," ujar perempuan yang sering dipanggil Mbah
Inem tersebut.
"Ibarat kalau enggak ada duit,
menumpang makan di rumah tetangga pun jadi. Kalau ada masak, minta saja.
Tetangganya toh baik-baik semua," tambah Nur Hasanah.
Kalian
mengangguk saja, seakan mendengar cerita pahit macam itu, atau macam
apapun, kepala kalian telah disetel untuk mengangguk-angguk. Salah
seorang ibu lain melintas seperti mencuri dengar percakapan ikut
berbicara. "Kita di sini, dek ya, semua bersatu. Mau Jawa, Banjar,
Madura, atau Cina..."
"Hah, adakah Cina?" tanya Nur Hasanah terheran-heran.
"Kalau ada." Sontak mereka tertawa, juga kalian.
Ketua
Aliansi Kerukunan warga Pasar Batuah, Syahrianoor, yang kau temui di
waktu yang berbeda mengatakan sangat berharap ada solusi terbaik dari
masalah ini. Kata dia, karena ini masuk ke ranah hukum, maka harus
sama-sama menaati hukum. "Kami legowo jika hasilnya menyatakan kami
tidak berhak, asal berkekuatan hukum tetap."
Selain
itu, ia berharap ada ganti rugi yang setimpal dari Pemkot Banjarmasin.
Cerita ini bukanlah sekadar bagian dari kisah dramatis di tengah-tengah
modernisasi. Ada yang akan tergusur, ada yang akan menggusur. Ada yang
menang, ada yang telantar lemah. Hal ini, jelas saja, sudah menjadi ciri
khas atas alasan pembangunan, penataan, dan lainnya.
"Apakah
tidak mungkin ada jalan lain bagi mereka?" tanya salah seorang dari dua
orang yang bertanya-jawab di sebuah ruangan diskusi yang dihadiri 35
orang. Cerita itu ditulis Goenawan Mohammad dalam "Diskusi" yang termuat
dalam Catatan Pinggir 1.
"Tidak. Mereka, lari
dari desa dan digusur dari perluasan kota, adalah korban. Perubahan
selalu: melahirkan korban. Revolusi industri di Inggris, perang saudara
di Amerika, revolusi Bolshewik di Rusia, pembangunan Kota Paris....”
"Tapi mengapa yang jadi korban hanya mereka, orang kecil sejak
dulu? Bukankah itu pertanda ketidakadilan dari strategi pembangunan?
Tidakkah ada jalan lain, yang jika perlu ada korban maka itu biarlah
mereka yang pernah nikmat di atas?”
”Pada saat
mereka—yang pernah di atas atau selalu di bawah —jadi korban, kau juga
akan menangis. Hatimu lembek dan tidak cocok untuk melihat proses
sejarah .”
”Kau yang melihat dengan dingin
proses sejarah, dan tabah, apa kah yang kau harapkan setelah proses itu?
Kebahagiaan manusia? Atau satu tingkat kenikmatan yang menyebabkan
pengorbanan hari ini bisa dihalalkan?”
”Sejarah
akan berjalan. Keadaan akan lebih baik, jika kita belajar dari
kesalahan masa lalu...” dan seterusnya, dan seterusnya. (musa)
Post a Comment