Header Ads

FEATURE: Pasar Batuah, Satu Hari Untuk Selamanya (Bagian 1)

Kalian tiba di Pasar Batuah, Banjarmasin, menjelang pukul setengah sepuluh pagi, pada Senin 20 Juni 2022. Sebelumnya kau meminta izin kepada Ketua Aliansi Kerukunan warga Batuah dengan alasan ingin mendengarkan cerita (kau suka cerita, dan kau mengira tempat itu ialah situs kau dapat memperolehnya). Tapi ia bilang sedang di luar kota dan kau memaksa untuk mencari sekarang juga.

Musa Bastara | BANJARMASIN

Temanmu Fati, yang berjalan di belakangmu, mengangkat smartphone setinggi dagu dan mulai merekam saat kalian memasuki jalan kecil yang seperempatnya diambil alih sepeda motor.

“Entar saya enggak ikut ngomong ya, cuma merekam,” katanya kepadamu. Kau cuma mengangguk-angguk saja seperti seekor ayam.

Siang belum kentara, namun udara yang dibungkus debu dan deru jalanan di luar seolah terbenam begitu saja. Di jalan itu kau cuma mendengar beberapa orang bercakap-cakap, ayam berkeruyuk, dekut burung-burung, dan gelak bocah-bocah; serupa desa, cuma agak berjubel, pikirmu.

Jalan itu dua kali lebih kecil dari kamar mandimu. Kau tahu bahwa, dari seluruh bagian rumahmu, kamar mandi mendapat jatah paling kecil dan jalan itu berarti setengahnya. Ketika ada orang melintas, kalian mesti sedikit memiringkan tubuh agar tidak berbenturan. Sesekali seseorang mengendarai motor di jalan kecil itu dan kalian harus menepi sebentar.

Rumah-rumah bertebaran di kedua sisimu, dengan pintu saling menghadap ke jalan kecil. Kau mengintip dari balik pintu-pintu yang terbuka; ada seorang ibu menyuapi anaknya bubur, melipat sekeranjang pakaian dan atau menyiapkan sarapan, dan bocah yang bermain-main dengan macam-macam mainan, seperti juga pagi di rumahmu, dan rumah-rumah orang kebanyakan. Sekilas kau jadi ingat rumahmu dan kenangan di dalamnya.

Dua pria sepuh dengan rambut memutih seperti ditaburi soda kue mengaso di pelataran sebuah rumah. Kalian tersenyum dan menyapa dan menyengguk seramah burung di pagi hari ke arah mereka. Kalian akan kelihatan amat konyol, jika sikap ramah berbasa-basi itu tak dibalas. Namun, mereka ternyata juga tak kalah ramah.

Salah seorang dari mereka, yang bertelanjang dada, bernama Suparno menanyakan keperluan kalian dan kalian memperkenalkan diri dengan sepatut-patutnya. Katanya, dia sudah menetap di Pasar Batuah sejak umur tujuh tahun saat tempat ini belum berbentuk pasar, dan memang tak sepenuhnya berbentuk pasar. Umurnya kini lima puluh sembilan.

“Dari anak-anak sampai jadi kakek-kakek, tinggal di sini,” ujarnya kepadamu dengan logat Jawa campuran Banjar.

Dia bercerita secara runtut dan terperinci bagaimana tahun 70-an Pasar Batuah kata dia, sudah berupa hunian tapi belum ada pasar. Baru terdapat pasar saat tahun 90-an. Para pedagang di pasar Kuripan, di masa itu, masih bermoda transportasi jukung sering melewati sungai lebar di samping Pasar Batuah yang sekarang cuma selokan.

Orang-orang di Pasar Batuah gemar memberhentikan para pedagang tersebut untuk membeli dagangan mereka. Lantaran merasa betah dan dagangan mereka selalu laris, mereka mendirikan pasar di sana meski mula-mula hanya berupa pasar sejumput. “Sekiranya Batuah ini sudah ada sejak tahun 50-an.”

Selain itu, darinya kalian tahu bahwa Batuah ini terdapat dominan tiga suku, antara lain: Banjar, Jawa, dan Madura. Pergesekan antara ketiga suku ini kata dia, tidak pernah menjadi soal, bahkan bisa dibilang seakan-akan menjadi satu suku saja.

“Jadi kami tak memandang suku, semua menyatu,” tambahnya. “Oleh karena itu maklumlah kalau sampai berpisah jadi sedih, ada pengalaman historisnya. Jadi nostalgia.”

Kau menanyakan apa yang paling menyenangkan bagi pria itu selama mukim di sini. Dia menjawab, “Senangnya karena keakraban itulah. Bayangkan kalau kita tercerai berai dari sini kan enggak tahu, entah berapa tahun sekali ketemu, bisa ketemu atau tidak, karena kan belum tentu akan satu tempat. Jika disediakan satu hunian, bagus, tapi kalau enggak?”

Jika disuruh pergi, kata dia lagi, seperti berjalan tapi tidak tahu arahnya ke mana. “Terutama yang anak-anak. Lingkungan sekolahnya kebanyakan di dekat sini, jadi kalau pindah urusannya bisa ribet. Sekarang kan prosedurnya agak rumit,” lekas disambungnya lagi, “belum lagi tentang usaha kita, ekonomi kita; pindah rumah itu kan enggak semudah kita beli pisang goreng terus bayar. Jadi efeknya sangat luas lah.”

Kau teringat kata Dea Anugrah saat ia mengabadikan nasib orang-orang di Kampung Kebun Bayam, bahwa ketika sebuah pemukiman dibongkar kata dia, yang hancur bukan hanya tembok dan atap, melainkan juga hubungan antarmanusia, mata pencaharian, dan tujuan hidup yang telah ditata selama bertahun-tahun.

Kau berani menanyakan kabar yang telah beredar bahwa, dulu, di bawah lokasi ini terdapat pemakaman orang tionghoa. Pria dengan sepuluh cucu itu menjawab tanpa keragu-raguan, “Enggak, bukan. Bukan.” Ucapan yang kedua agak ditegaskan. “Kalau pemakaman tionghoa itu ada di daerah Sepakat dan Gang Baru. Di Batuah ini mah enggak ada.”

“Di Pasar Kuripan sama Gang Lima juga,” tiba-tiba temannya, yang tadi tak bernafsu mendadak tertarik, ikut menambahkan.

“Kalau di Batuah enggak ada sejarahnya,” ketus Supanor. “Siapa yang mengatakan itu saya mau tahu orangnya. Boleh menghadap sama saya!”

Setelah mendengar cerita, kalian merasa belum puas dan berjalan lagi. Kau menengok ke sangkar-sangkar burung yang, entah jenis burung apa, tidak digantung, tapi hanya ditaruh di atas kursi panjang dan segera mengambil foto. Lalu, temanmu bertanya, “Pengen mewawancarai burung?”

“Kalau ia bisa dan tak keberatan buat ngomong, tak masalah,” candamu.

Kalian melesak lebih dalam ke jalan kecil itu saat salah seorang pria menawarkan untuk mengantarkan kalian bertemu orang paling sepuh di Batuah. Tawaran bagus tentu saja, katamu dalam hati. Tidak sampai satu menit, kalian tiba-tiba sudah berada di sebuah lapangan segi empat. Di sana orang-orang menggelar lapak, menjual bermacam barang dan makanan.

Pria tadi berbicara kepada seorang penjual kelapa parut saat tak lama kemudian ia bilang kepada kalian, “Tolong jangan hari ini ya, dek. Ketuanya lagi enggak ada, sedang di luar kota. Kami enggak bisa ngomong, takut salah. Maaf ya dek, maaf.”

Sekonyong-konyong dua orang asing entah dari mana menjadi bahan tontonan seketika itu juga. Namun, kalian tetap memilih melanjutkan perjalanan. Sekarang masuk di area pasar, dan sebagaimana pasar, ada bermacam-macam dijual. Kau harus menundukkan kepala ketika sebuah atap seng menyembul ke tengah jalan. Pasar itu tak begitu besar, mungkin separuh kawasan Batuah, itu juga boleh jadi berlebihan.

Kalian melenggang ke sebuah jalan yang lebih sempit, cuma muat satu orang. Jendela dan pintu dan jemuran dan sederet tanaman menghadap ke jalan sempit itu. Seseorang ibu menatap curiga kepada kalian. Ketika kalian menemui persimpangan empat, yang di salah satunya mengarah ke jalan buntu, ibu tadi menghampiri dan bertanya apa keperluan kalian. Entah sudah ke berapa orang yang kalian temui menanyakan pertanyaan yang sama. Selepas berterus terang dengan jawaban yang kurang lebih sama pula, ia mengarahkan kalian untuk lurus kemudian belok ke kanan.

Kau menatap ke balik punggung dan melihat ibu itu masih memandangimu. Ingatanmu sebentar terlempar dua hari yang lalu, saat kau berada di tengah-tengah keramaian massa. Di jembatan yang mengarah ke Pasar Batuah, gerombolan ibu-ibu membentuk pola rapat sebuah tembok, membantut para polisi, satpol dan tentara yang telah berderet-deret di tengah jalan tanpa takut sambil melantunkan selawat. Sebagian berderai air mata, memelas agar rumah-rumah mereka tidak digusur. Beberapa buah alat berat sudah tiba, siap menggerus apa saja.

Beruntung, di detik-detik hendak digusur, angin segar datang dalam bentuk surat dari Komnas HAM agar eksekusi ditunda. Warga bertempik gembira saat itu juga, mengucapkan selamat tinggal dan melambai ke arah pasukan yang ditarik kembali ke sarang. Meski belum sungguh-sungguh angin segar, mereka bahagia dan merayakannya dengan mandi di sungai, tapi juga sekaligus waswas di hari-hari selanjutnya.

Kau membayangkan ibu yang menatap kalian penuh curiga itu berada di antara formasi rapat tembok dan paling lantang berteriak ke arah pasukan, ke arah alat berat. Namun,  saat kau berada di tempat ini, sejauh ini dari orang-orang yang kau temui, kesan sangar itu seakan-akan sirna. Hanya menyisakan kecemasan. Kecemasan. (bersambung)

No comments

close
pop up banner