FEATURE: Pertemuan Dengan Nenek Jaitun, Simbol Daya Hidup Orang Banjar
Di Jalan RE Martadinata, saya bertemu seorang perempuan tua dengan
kacamata hitam mengilap sedang mendorong gerobak saat cahaya matahari
nyaris mencaplok sekujur kota. Ini murni kebetulan sebagaimana pertemuan
dua insan dalam telenovela.
Musa Bastara | BANJARMASIN
Di
antara banyak mobil yang terjun ke jalan siang itu, perempuan tua dan
gerobaknya tentu adalah hal lain, terpisah dari segala kegaduhan. Semua
orang berkembang biak dan bergerak di mana-mana, tapi menemukan manusia
jatmika dan punya daya hidup luar biasa, hampir seperti fiksional dan
hanya ada dalam kisah orang-orang sukses di seminar-seminar motivasi.
Kisah
besar sebenarnya bisa didapat tidak hanya dari ruangan-ruangan ber-AC
dengan orang-orang bersetelan rapi yang lincah berbicara, yang
membagikan pengalaman hidupnya beserta pembuktian-pembuktian, seperti
pedagang ember membuktikan ketahanan embernya; namun, jika kamu mau
sedikit bersabar, cukup beranjak dari tempat tidur dan berjalan tiga
ribu meter dari rumahmu, kamu boleh jadi menemukan kisah-kisah yang sama
hebatnya, bahkan jauh lebih luar biasa. Pagi dan sore, malam atau
tengah malam, dunia menawarkan cerita-cerita, sebagaimana saya siang
itu.
Mula-mula, ia memperkenalkan dirinya Jaitun. Usia 70 tahun. Selain
tubuhnya yang kecil dan keriput, pendengaran, serta ketangkasan
bicaranya bisa dipastikan masih sangat bagus. Ia mengenakan daster
dengan jilbab hitam panjang hampir menutupi setengah tubuhnya. Yang
membuatnya tampak mencolok adalah kacamata hitam yang digunakannya untuk
menghalau cahaya matahari langsung, serta debu yang berkibar di
jalanan.
Selepas di kelokan jalan, ia menepikan
gerobaknya saat saya menjegal dan cepat-cepat melihat isinya. Ada kue
kelemben, kerupuk amplang, dan lapat; kudapan yang terbuat dari ketan,
santan, dan kacang merah yang dibalut dengan daun nipah. Dia menerangkan
dengan gesit menu-menu tersebut.
Gerobak itu
beroda dua, dengan payung dan keranjang yang dibagi dua bagian. Pada
bagian bawah terdapat stok amplang dan lapat, sedangkan bagian atas,
sebuah keranjang berfondasi kayu yang dibungkus plastik transparan,
tersusun kue kelemben, dan sebuah tampah tersedia percampuran dari
menu-menu itu tadi.
“Dulu memakai nyiru,
gerobak ini baru sekitar tiga tahunan,” katanya. Lantaran ringan, saya
sempat beberapa kali harus menahan gerobak itu agar tak dimainkan angin
yang berembus tiba-tiba. “Menunya pun dulu lebih beragam.”
Menu-menu itu dibelinya putus dari pihak supplier. Satu kue dari
supplier dibelinya Rp 1.500, kemudian dijualnya Rp 2000. Sehari ia
menjual kue kelemben dan lapat masing-masing seratus. Kadang habis,
kadang, tentu saja, masih bersisa. Tidak tentu.
“Kalau tak habis?” tanya saya.
“Risiko,” sahutnya. “Tapi untungnya biasa habis saja.”
Nenek
Jaitun tidak bergegas, dan tidak banyak istirahat. Di usianya yang
lebih setengah abad, saya mengais-ngais pertanyaan dalam benak sendiri:
dari apakah sebenarnya kaki Nenek Jaitun dibuat? Mengapa bisa setangguh
itu? Saya saja yang masih muda sudah terlalu payah untuk berjalan dari
desa ke kota.
Dia memang sudah terbiasa
berjalan jauh. Bahkan sedari kecil ia sering menjajakan kue tanpa alas
kaki berkeliling desa. Ada pun ia pernah berjalan ratusan kilometer
hanya untuk menjenguk keluarganya.
Saat saya
bertanya dari mana dan mau ke mana, untuk seusianya, ia juga masih
mengenal baik nama-nama jalan. Terlihat dari caranya menerangkan, mulai
pukul enam berangkat dari rumahnya di Antasan terus berkeliling kota
seharian.
Suaranya pun lantang ketika bercerita.
“Saya hidup sebatang kara tak punya anak. Suami meninggal empat
tahun lalu. Sekarang hidup menumpang di rumah anak angkat--suami isteri
dengan anak tiga. Di sana saya enggak ikut makan, cuma numpang tidur
aja. Saya tak mau merepotkan, tapi kalau dikasih rezeki saya terima.
Tidak minta juga.”
Orang-orang di sepanjang
jalan yang ia lewati mengenal baik dirinya--sebagaimana ia mengenal baik
nama-nama jalan--seringkali suka memberi ia makan minum cuma-cuma. Ia
menunjukkan kepada saya nasi bungkus dan sebotol air mineral.
Dia
gampang tersenyum dan tertawa, dan jika melakukan keduanya, akan tampak
giginya yang tinggal tak seberapa. Dia seperti manusia yang diciptakan
gembira dalam situasi bagaimana, di mana, dan kapan saja.
Namun,
air mukanya berubah ketika ia mengingat pesan orangtuanya, bahwa jangan
terlalu mengharapkan orang lain. Belajarlah untuk mandiri. Pesan itu
kemudian ia sampaikan lagi kepada saya dengan sedikit tambahan,
“Seringlah berbuat kebaikan karena kebaikan itu mengalir. Biar mengasih
orang seribu rupiah, tapi ikhlas. Jangan mengasih sejuta tapi
diumum-umumkan. Itu namanya enggak ikhlas.”
Saya
cuma berbincang sedikit dan membeli dua bungkus ampang saat jam sudah
menunjukkan pukul dua belas siang lebih sedikit. Nenek Jaitun tersenyum
kepada saya dan mendorong gerobaknya lagi. Saya berani bersumpah, dari
semua perempuan tua yang saya temui di jalan, ia adalah yang paling
ramah. Seraya menggenggam erat gagang gerobak dengan kedua tangannya
yang kisut, ia menyeimbangkan langkah. Perlahan-perlahan ia menjauh dan
tubuhnya kian mengecil dari pandangan. Saya melambai kepadanya meski ia
tak menengok ke balik punggung.
Jika kebetulan kami bertemu lagi, dan saya punya uang, tak usah banyak, saya akan mengajaknya ke rumah makan, pikir saya.
Dari
kebetulan ini, saya belajar perihal bertahan hidup di dunia yang tak
pasti ini darinya. Semangatnya merupakan semangat sesungguhnya orang
Banjar. Perempuan yang tak hanya tangkas, tapi juga jatmika dan bangkit
dari prinsip-prinsip sederhana. Barangkali semangat ini perlu melayang
tinggi di angkasa, sehingga anak-anak muda, atau siapa pun, di kemudian
hari bisa mengambil contoh darinya dan menjadikannya simbol daya hidup.
Oleh sebab itulah, kisah ini akhirnya ditulis. (musa/sip)
Post a Comment